KEWENANGAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Kemajuan teknologi informasi memberikan kemudahan bagi pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana narkotika dalam melakukan tindak pidana. Sebagai penegak hukum, penyidik juga harus memiliki kewenangan khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mengungkap tindak pidana narkotika hal mana belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Tujuan penelitian ini adalah pertama untuk mengkaji dan menganalisis kewenangan penyidik untuk menggunakan sarana teknologi informasi, khususnya penyadapan dan perolehan call detail record dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika. Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis mengenai kekuatan atas barang atau alat bukti yang diperoleh dengan menggunakan sarana teknologi informasi dalam proses persidangan khususnya untuk tindak pidana narkotika. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Pengolahan data menggunakan metode kualitatif dan penarikan kesimpulan menggunakan logika hukum. Kesimpulan dalam penelitian ini yang pertama adalah penyadapan merupakan kewenangan atributif penyidik dari Badan Narkotika Nasional saja dengan berdasarkan perintah pengadilan walaupun dalam keadaan mendesak kewenangan ini bisa dilakukan secara diskresi. Seharusnya penyidik Polri pun diberi kewenangan yang sama dengan penyidik BNN dalam hal penyidikan khususnya sehubungan dengan penyadapan karena Undang-undang narkotika tidak membedakan cakupan tindak pidana narkotika yang dapat disidik oleh penyidik Polri maupun penyidik BNN. Selain itu penyidik Polri juga memiliki kualitas yang sama dan didukung peralatan yang setara dengan penyidik BNN dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika. Penyidik BNN dan penyidik Polri seharusnya memiliki kewenangan untuk memperoleh call detail record untuk kepentingan penyidikan. Dalam kedua hal, baik penyadapan maupun perolehan CDR, izin pengadilan seharusnya tidak diperlukan. Selanjutnya disimpulkan juga bahwa alat bukti dari teknologi informasi dapat digunakan untuk memenuhi minimum bewijs namun kekuatan pembuktiannya tetap ditentukan oleh kewenangan hakim dengan melihat keterkaitan antara alat bukti.

1.  UEU-Master-12370-cover.Image.Marked.pdf - 245 KB
2.  UEU-Master-12370-pengesahan.Image.Marked.pdf - 255 KB
3.  UEU-Master-12370-pernyataan.Image.Marked.pdf - 377 KB
4.  UEU-Master-12370-kata pengantar.Image.Marked.pdf - 338 KB
5.  UEU-Master-12370-abstrak.Image.Marked.pdf - 337 KB
6.  UEU-Master-12370-daftar isi.Image.Marked.pdf - 341 KB
7.  UEU-Master-12370-daftar pustaka.Image.Marked.pdf - 456 KB
8.  UEU-Master-12370-bab 1.Image.Marked.pdf - 401 KB

• TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEABSAHAN pENAHANAN DALAM PERKARA PIDANA (Studi Kasus No.11/Pid.Prap/2001/PN.JakSel)
• ANALISA ATAS PHK YANG DI SEBABKAN EFISIENSI SERTA PERLINDUNGANNYA BAGI PEKERJA BERDASARKAN UU NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
• TINJAUAN YURIDIS UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PRAPERADILAN DI INDONESIA (STUDI KASUS PERKARA NO. 35 K/Pid/2002)
• TINDAK PIDANA PENCURIAN DATA MELALUI INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 362 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNBDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
• TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINGGINYA ANGKA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
• ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA (STUDY KASUS PUTUSAN PERKARA PIDANA NOMOR 994/PID.B/2004/PN. JAK-SEL)
• TINJAUAN ATAS PEMENUHAN HAK DAN UPAYA PEMBERIAN FASILITAS BAGI TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT FISIK DALAM SUATU INSTANSI PEMERINTAH
• PENGAJUAN ALAT BUKTI SEBELUM TAHAP REPLIK DAN DUPLIK SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMBUAT PUTUSAN SELA (Studi Kasus Perkara Perdata Nomor 30/Pdt.G/2007/PN.JKT.UT)
• PERKAWINAN SEDARAH DITINJAUDARI HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
• PENGARUH HUKUM AKUISISI TERHADAP PERUSAHAAN PUBLIK CLOSELY-HELD