Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Begitu pula ketentuan pidana dalam perundang-undangan di Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana (Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 KUHPidana). Untuk dapat menjatuhkan seseorang agar menjalani hukuman pidana diperlukan laporan, pengaduan dan saksi. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Saksi adalah seseorang atau lebih yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang sesuatu perkara pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 24, 25 dan 26 KUHAP). Perkara pidana yang penulis uraikan dalam skripsi berikut, yaitu perkara pencurian biasa dan merupakan delik aduan dengan ancaman Pasal 362 KUHP. Dalam konteks ini berbagai pihak merasa berkepentingan, yakni pihak tertentu mengatakan bahwa seseorang adalah pelakunya, sedangkan pihak lainnya mengatakan bahwa perbuatannya itu bukan unsur pidana, atau ada juga yang mengatakan bahwa tidak seorang pun melihat terjadinya pencurian dimaksud, sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak bersalah dan oleh karena itu dibebaskan dari segala dakwaan. Untuk itulah penulis tertarik dalam mengungkap tentang apa dan bagaimana permasalahan yang sebenarnya terjadi, apakah karena laporannya palsu, pengaduannya palsu, atau karena saksinya tidak jujur, atau juga karena pihak kepolisian selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum maupun majelis hakim, bekerja lamban dan berlarut-larut, tidak cermat, atau kurang bersungguh-sungguh dalam menangani penyelesaian perkara pencurian sesuai prosedur dalam KUHAP, menyebabkan upaya penyelesaian perkara tersebut harus melibatkan institusi yang lebih tinggi, yakni Mahkamah Agung, dan pada akhirnya terdakwa dinyatakan bersalah, sesuai ungkapan bahwa �tidak ada kejahatan yang sempurna�, sehingga Rasmiah alias Rasminah binti Rawan dijatuhi hukuman pidana penjara. Berkaitan dengan itu, penulis melalui rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam skripsi ini berharap bahwa fakta persidangan yang tidak sesuai Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP antara lain tentang banyaknya kekeliruan dan kelalaian dalam hal penanganan perkara pencurian, tidak terulang, karena telah mengakibatkan berlangsungnya upaya hukum luar biasa, sesuai Pasal 67 dan 244 KUHAP, yaitu banding dan kasasi, dapat menggugah pemerhati atau siapapun yang berkepentingan, mampu mengubah sikap lamban, tidak jujur dan tidak cermat ataupun kurang bersungguh-sungguh, menjadi aparatur yang bertanggung jawab terhadap kewajiban masing-masing.