Demokratisasi pasca reformasi memengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara. Partisipasi masyarakat tersebut salah satunya
adalah dalam upaya pembangunan nasional, yakni mengenai urgensi pemberantasan
tindak pidana korupsi karena telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang
sangat besar dan berpotensi menimbulkan kembali krisis di berbagai sektor atau
bidang pembangunan. Masyarakat menghendaki negara memiliki organ yang lebih
responsif terhadap tuntutan mereka. Komisi Pemberantasan Korupsi lahir sebagai
respon atas tidak efektifnya kepolisian, kejaksaan, dan badan-badan lain yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi meliputi koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pencegahan, dan monitoring. Saat ini, pemberantasan tindak pidana
korupsi pasca reformasi telah berlangsung selama hampir 2 (dua) dasawarsa, namun
sampai dengan saat ini tindak pidana korupsi masih kerap terjadi. Timbul pendapat
terkait hal tersebut, yakni masih terjadinya tindak pidana korupsi mengindikasikan
pemberantasan tindak pidana korupsi masih lemah atau mengindikasikan
pemberantasan tindak pidana korupsi semakin baik karena semakin banyak yang
terungkap. Dalam perjalanannya, kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi juga
dipertanyakan berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 membuat Komisi Pemberantasan
Korupsi terkesan menyerupai sebuah superbody. Karena itu muncul persoalan
mengenai kedudukan dan efektivitas pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan
Korupsi. Untuk menjawab persoalan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif didukung dengan pendekatan
perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan historis, serta
memakai teori negara hukum, teori kewenangan dan pembatasan kekuasaan, sistem
checks and balances, dan teori kepastian hukum sebagai pisau analisis. Penelitian ini
mengulas detail sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, perbandingan lembaga
anti korupsi di beberapa negara dan analisisnya, hingga akhirnya membahas khusus
kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi serta pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara independen, meskipun Komisi
Pemberantasan Korupsi melaksanakan kewenangan pada ranah eksekutif yang
semestinya dilaksanakan lembaga pemerintah (eksekutif murni). Kewenangan
�eksekutif� Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan pendelegasian kewenangan
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai dasar hukum pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi belum
optimal dan efektif dalam melaksanakan tugas sebagaimana diamanatkan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK hanya fokus pada penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, bukannya membangun sistem pencegahan yang menjadi
langkah pertama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.