Pengujian pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), terkait penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, Mahkamah menolak permohonan pemohon dengan pertimbangan KPK merupakan lembaga eksekutif yang masuk dalam lingkup angket DPR, karena KPK memiliki tugas yang sama dengan Kepolisian, dan Kejaksaan khususnya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait tindak pidana korupsi, sehingga karena putusan tersebut status kelembagaan KPK menjadi lembaga eksekutif. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK telah mendapatkan legitimasi sebagai lembaga negara yang independen dalam melakukan tugas, dan wewenangnya, serta bebas dari kekuasaan manapun, oleh karena itu KPK tidak masuk dalam ranah eksekutif melainkan lembaga negara independen, maka KPK tidak masuk dalam lingkup angket DPR, karena independensi KPK telah dijamin dalam Undang-Undang pembentukannya. Teori The New Separation of Power (Pemisahan Kekuasaan Baru), dan teori the fourth branch of government� (cabang kekuasaan ke empat), memisahkan lembaga negara independen dengan lembaga trias politika yang diembangkan Montesquie (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), karena dalam praktek ketatanegaraan modern suatu lembaga negara yang disematkan status independen berada di luar ketiga cabang kekuasaan trias politika, oleh karena itu tidak tepat apabila Mahkamah Konstitusi memutus KPK sebagai lembaga eksekutif, karena pada faktanya konsep trias poitika telah tergeser oleh teori The New Separation of Power (Pemisahan Kekuasaan Baru), dan teori the fourth branch of government� (cabang kekuasaan ke empat) yang memisahkan lembaga negara independen dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.